Oleh : Darsono
(Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Riau)
Email : 82.darsono@gmail.com
Banyak warga binaan Lembaga Pemasyarakatan yang mengeluh dengan adanya kabar bahwa dirinya telah diceraikan oleh suami atau isterinya. Keterbatasan dalam menghadiri persidangan sangatlah menjadi bentuk kecemasan tersendiri bagi warga binaan.
Bahkan hal tersebut dapat menjadikan dampak negatif terhadap psikologi warga binaan. Menerima putusan yang diluar espektasi terpidana adalah konsekuensi yang harus diterima, sedangkan ditambah dengan adanya perceraian antara suami isteri akan menambah beban berat bagi yang bersangkutan.
Ada 3 (tiga) persoalan penting dalam penelitian ini: Pertama, apa sajakah keterbatasan yang dialami Narapidana sebagai Warga Binaan dalam menghadapi gugatan perceraian di Pengadilan Agama?
Kedua, bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak keperdataan Narapidana yang digugat cerai? Dan ketiga, bagaimana peranan Pemerintah dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan tahanan atau narapidana yang berada dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan, khususnya saat menghadapi gugatan perceraian? Data dalam penelitian ini didapat melalui Library Research dan Field Research.
Data yang didapat tersebut dianalisis secara mendalam dengan metode Narrative Content Analysis. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bengkalis dan Kota Dumai, Provinsi Riau.
Pertimbangan atas pemilihan 2 daerah tersebut, karena memiliki Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang warga binaannya relatif banyak, serta banyaknya kasus Gugatan Perceraian yang melibatkan Narapidana sebagai Tergugat. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan : Pertama, Tahanan ataupun Narapidana yang sedang menjalani masa hukumannya didalam Lapas, hak-haknya termasuk hak keperdataan diatur dan di jamin dalam regulasi baik berupa UU maupun PP, seperti dalam Bab IV bagian kesatu PP no. 58 Tahun 1999, pasal 14 UU no. 12 tahun1995, serta pada pasal 51 dan 52 PP no. 32 Tahun 1999.
Kedua, belum ada ketentuan dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang Tahanan atau Narapidana untuk dapat menghadiri persidangan perceraian. Sehingga hal ini yang menjadi acuan bagi pihak Lapas untuk tidak memberikan Tahanan atau Narapidana hak untuk menjalani proses perkara perdata yang sementara dihadapi. Ketiga, Kepala Lapas atau Rutan boleh mengambil kebijakan terhadap Narapidana untuk mengikuti persidangan perceraian namun dengan tetap melalui mekanisme sidang tim pengamat pemasyarakatan serta pengawalan Polisi. Ataupun melalui opsi persidangan secara virtual didalam lapas atau rutan.
Keadaan seorang narapidana merupakan suatu keadaan yang secara mendasar tidak pernah diinginkan oleh setiap orang, bahkan bagi seorang laki-laki yang telah bekeluarga karena dengan keadaannya sebagai seorang narapidana akan membuat terhalangnya kewajiban seorang suami kepada istrinya, salah satunya ialah kewajiban memberikan nafkah.
Namun terkadang bagi seorang suami dalam memenuhi kebutuhan kehidupan diri dan keluarganya, melakukan kesalahan maupun kekhilafan yang terkadang membuatnya harus berurusan dengan hukum di negara ini dan bahkan apabila telah terbukti bersalah maka seorang suami yang melakukan kesalahan tadi harus menjalani hukuman masa pidana yang disebut seorang narapidana.
Pembinaan di LP menekankan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang bertujuan untuk menjadikan Narapidana dapat diterima kembali oleh masyarakat dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang dilakukannya. Dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan, menyatakan bahwa : “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Tulis Komentar